PILIHAN UTAMA

Monday, May 14, 2007

Cermin Retak Dari Dunia Pendidikan

Ketika masih duduk di sekolah dasar, saya begitu terkagum-kagum melihat beberapa mahasiswa yang sedang KKN di desa tempat tinggal saya. yang ada dalam bayangan pikiran saya waktu itu, mahasiswa adalah sosok orang pilihan yang bisa menyelesaikan berbagai persoalan dengan penalarannya yang cerdas. Mahasiswa adalah manusia super yang kenyang makan asam garam pendidikan sehingga bisa berlaku santun pada orang lain dan mampu membimbing adik-adiknya. Dan yang paling membuat saya senang setiap ada mahasiswa KKN kedesa saya adalah di hari terakhir yang bisa dipastikan selalu ada pemutaran layar tancap meskipun sering kali film yang diputar tentang KB dan semacamnya. Dan teman-teman saya pun kayaknya juga nggak peduli apapun film yang di putar, mau KB kek, mau tentang pertanian yang penting bisa nonton layar tancap. begitu juga dengan para orang tuanya, selalu tidak mau ketinggalan.

Waktu itu saya masih di kelas tiga SD, ada beberapa mahasiswa yang datang dan mengajar di kelas meskipun tidak lebih dari satu minggu, sebagian yang lain ada yang membantu di kelurahan atau memberikan penyuluhan pertanian ataupun kesehatan terutama mengenai pentingnya KB dan kesehatan lingkungan. Bahkan sempat juga dibuatkan generator listrik meskipun beberapa bulan kemudian ternyata sudah rusak dan tidak dapat difungsikan, padahal seingat saya itu adalah listrik pertama yang bisa dinikmati beberapa rumah di desa saya.

Saya selalu terpesona dengan penampilannya yang rapi dan kelihatan pintar, karena saya membayangkan mereka setidaknya telah duduk di bangku sekolah selama limabelas tahun, sebuah pengalaman yang tidak sedikit tentunya. Tapi bagaimana dengan sekarang, setelah secara pribadi juga merasakan sebagai orang yang pernah di sebut sebagai mahasiswa?. Setidaknya juga terjadi pergeseran, mahasiswa yang sering kali disebut sebagai masyarakat intelektual karena kemampuan nalarnya untuk meghadapi persoalan yang ada sekarang ini lebih nampak sebagai serombongan preman yang suka pamer kekuatan. Mungkin ada benarnya jika kuli batu yang bekerja keras dengan ototnya, karena semakin kuat dia akan semakin banyak rupiah yang dihasilkannya.

Cukup banyak kejadian yang bisa kita jadikan cerminan, ketika mahasiswa berlaku beringas di dalam kampus, main lempar dan main pukul hanya gara-gara tim sepakbolanya kalah dari fakultas lain atau kampus lain. atau ketika seorang pencuri tertangkap basah di kampus kemudian dikeroyok dan digebuki ramai-ramai, apakah ini gambaran dari sosok intelektual? sementara itu ruang gerak pihak kepolisian juga semakin sempit saat ada kaitan kejadian di kampus. Mahasiswa beranggapan masalah internal bisa di selesaikan sendiri tanpa melibatkan pihak kepolisian, terus bagaimana jika kejadian ini merembet menjadi kerusuhan atau membawa korban jiwa? apakah benar kampus menjadi kawasan ekslusif yang mempunyai pranata hukum sendiri.

Belum kering ingatan kita pada kejadian yang membawa korban di kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri(IPDN). Nyawa Clif Muntu melayang setelah menjadi bulan-bulanan para senior. Tentu saja kembali muncul tanggapan miring dari masyarakat yang di tujukan ke kampus yang dulu bernama APDN ini, terlebih lagi meninggalnya Clif bukan kejadian yang pertama.

Masyarakat, hanya bisa mengelus dada betapa sekolah pamong praja yang notabene lulusannya merupakan pegawai negeri sipil ini justru menerapkan pola pendidikan yang katanya pola militer. Padahal akademi militer sendiripun tidak mungkin menerapkan pola pembinaan kepada para siswanya dengan pesta pukulan, gebukan dan tendangan hanya untuk menerapkan kedisipilinan kepada para taruna. Kalau ini yang terjadi betapa menariknya untuk dicermati atau orang akan dengan mudah berasumsi bahwa para siswa atau praja tersebut tak ubahnya sekelompok orang bodoh yang tidak paham dengan aturan tertulis atau kata-kata dan baru bisa tunduk dan patuh setelah mendapat pukulan atau tendangan.

Awal bulan Mei kemarin kita juga dikejutkan dengan meninggalnya seorang siswa SD di Jakarta setelah dikeroyok tiga teman sekolahnya, satu diantaranya seorang gadis kecil. Mungkin banyak yang beranggapan ini hanya sebuah kecelakaan dari anak-anak yang belum balig dan belum mengerti akibat dari perbuatannya. kalau benar memang anggapan ini yang muncul, berarti juga bisa memunculkan pemikiran bahwa telah terjadi kecelakaan fatal pada dunia pendidikan kita.

Kecelakaan yang bisa saja terjadi ketika kita, orangtua, lingkungan masyarakat sekitar dan pihak sekolah telah lalai bahwa di sekitar kita ada anak-anak kecil yang selalu berkembang melalui proses imitasi. Hampir mirip juga dengan munculnya kasus smackdown di lingkungan anak-anak Sekolah Dasar beberapa waktu lalu yang juga membawa korban jiwa melayang dan luka-luka. Dari kasus ini juga banyak masyarakat yang berpikir bahwa kecelakaan ini disebabkan karena anak lebih banyak dijejali tayangan smackdown di televisi yang tidak terseleksi dan kurang pengawasan dari orang tua.

Sebelumnya kita bisa sedikit tenang dan berbangga, cukup lama kita tidak melihat atau mendengar berita tawuran antar pelajar. Meskipun juga sempat beberapa kali dikotori ulah guru yang menjadikan anak didik sebagai pelampiasan kejengkelannya dengan melakukan penganiayaan. Bertambah pandaikah anak didik setelah digampar kepalanya?, sebagai alasan pembenar si murid kelewat badung. Lho, bukankah itu sudah menjadi tugas guru untuk mengarahkan dan mengurangi kebadungan si murid? artinya tetap harus dengan cara-cara manusiawi yang sehat(tanpa pukulan, tanpa gamparan yang sifatnya lebih mengarah pada penganiayaan). Apakah kemudian guru menjadi puas setelah menyakiti murid-muridnya?

Masih di minggu pertama bulan Mei, ada kabar dari Makasar, sesama mahasiswa sebuah Sekolah Tinggi Agama Islam saling kejar, saling lempar dan baku pukul. tawuran ini dipicu penikaman salah seorang mahasiswa oleh sesama mahasiswa berbeda fakultas. Fasilitas kampus dirusak, kaca bertebaran. Kondisi sedikit berbeda terjadi di Sumatera utara kampus Universitas Islam Sumatera Utara juga bergolak. perang batu juga terjadi akibat perebutan tahta kekuasaan antara pengurus yayasan lama dengan pengurus baru. Kedua kubu bertikai tak lagi saling mengalah dan duduk satu meja untuk membicarakan permasalahan. satu kubu merekrut orang-orang yang ditugaskan untuk menjadi satuan pengaman sedangkan pihak lainnya bersama para pendukungnya menyerbu kekampus dan memaksa keluar di pagi buta. hasilnya bisa dibayangkan, kerusakan yang terjadi, mahasiswa lagi-lagi dirugikan tidak bisa mengikuti perkuliahan padahal pada hari kejadian mahasiswa sedang ujian tengah semester. Sementara ini kampus UISU diambil alih pengelolaanya oleh pemerintah pusat.

Max webber dalam teorinya menyatakan kekuatan seringkali digunakan untuk memperluas kekuasan. Mengaca pada kejadian di UISU tentunya pihak-pihak bertikai mencoba untuk memobilisasi pendukungnya demi mengamankan kekuasaan masing-masing. Tapi harus dingat "ini abad 21 BUNG, bukan juga perang di Palestina". Benarkah Kekerasan sudah menjadi budaya baru bagi bangsa kita? padahal dulu kita dikenal sebagai bangsa yang ramah dan beradat istiadat atau ini hanya sebuah mimpi? jika kenyataannya mahasiswa yang menjadi masyarakat intelek saja sering kali melakukan kekerasan seperti tawuran antar preman. Anda bisa bayangkan saeperti apa negeri ini jika 20 tahun kedepan bangsa kita masih dipimpin orang-orang hasil pendidikan model preman. Sedangkan saat ini kehidupan bangsa kita juga masih harus prihatin dengan hasil pendidikan korup yang sampai sekarangpun juga masih sulit disembuhkan.



No comments:


Gratis kotak @ ShoutMix
 

PILIHAN UTAMA